Skip to main content

Istilah Pertukangan di Meja Dokter

"Pasien ingin dioperasi ... " Hah?
Saya memandangi surat rujukan milik suami dari dr. DP ke RS Pusat. Plislah, mendengar kata operasi saja ngeri, bagaimana mungkin kami yang menginginkannya tanpa ada saran dokter. Aneh. Meski merasakan keganjilan, tapi ... ah, buru-buru saya lipat surat tersebut dan memasukannya ke dalam tas. 

Suami sudah menunggu di depan rumah sambil memanaskan motor. 

Ya, hari Senin tanggal 6 Mei 2015 itu, akhirnya kami siap kembali mengencani rumah sakit setelah mengambil jeda istirahat selama satu minggu. Capek tahu. Meski gratis karena pakai BPJS, tapi mengendalikan emosi dan tenaga untuk bolak balik ke RS bikin kami kelelahan. Apalagi dengan perlakuan dokter-dokter yang kurang mengenakan di RS Pusat (baca tulisan saya yang ini)

Kedatangan saya dan suami ke RS ke-2 Jogja Senin ini adalah untuk memfoollow-up rujukan dokter DP ke RS Pusat. Tujuannya sudah jelas. Kami akan menuju loket BPJS untuk minta surat pengantar, eh ndak tahu ding namanya apa. Pokoknya, selain surat rujukan dari dokter yang memeriksa suami, kalau mau pakai BPJS, harus di-ACC di loket tersebut. 

Setelah menunggu beberapa menit, nama suami saya dipanggil. Seperti biasa, saya yang harus tampil ke depan karena suami lagi ngegame. Huffft.
"Maaf Mbak, apa ini pasien yang minta dioperasi?" tanya petugas BPJS yang sedang saya hadapi. Nah kan? Keganjilan tersebut tertangkap sudah. 
"Dokter DP lah Mbak, mana kami tahu kalau harus dioperasi"
"Tapi, di surat rujukan kayak gini nih" Petugas tersebut mencoba memperlihatkan surat rujukan yang sebenarnya tulisannya agak susah dibaca. Dalam hati: saya sudah baca kali Mbak. 
"Lho terus gimana?" tanya saya balik.
"Sebentar" Kemudian dia memencet nomor dan menelepon seseorang. Saya tidak begitu memperhatikan apa yang sedang dibicarakannya. Tapi kemudian, dia kembali bicara pada saya dengan nada yang lembut. "Sekarang Mbaknya kembali ke poli THT ya ketemu Mbak A. Soalnya dengan rujukan seperti ini, bisa jadi di RS Pusat nanti ditolak" Dalam hati, tengkyu Bu tengkyu. Ini nih petugas teladan. Mampu memberikan solusi untuk memudahkan pasien yang nggak tahu menahu.

Sebelum menemui Mbak A, suami sempat bertanya kenapa harus kembali ke Poli THT. Saya pun menjelaskan apa yang terjadi, dengan penutup "Kenapa ya, kok dokter DP nulisnya kayak gitu?" tanya saya, yang disambung dengan banyak pertanyaan dalam kepala. Apa karena operasi ini sebenarnya tidak perlu? Seperti halnya operasi silikon atau tambal keperawanan yang nggak penting-penting banget? Lho, kalau nggak perlu operasi, dan jangka panjangnya nggak berbahaya, kami sih oke-oke aja tanpa operasi. Malah mengharapkannya seperti itu. Tapi dari pertama cek sampai sejauh ini, mereka para dokter membuat mental kami down. Katanya bahaya, katanya inilah itulah dan harus operasi. Ya kami manut saja sih. 

"Dokter DP ya cari aman sih Dek" suami saya berkomentar singkat, tapi bener-bener ambigu. 

Aman? Maksudnya aman dari tanggung jawab? 
Nggak mau ambil resiko kalau terjadi hal buruk? 
Nggak mau mengakui kalau dia yang menyarankan operasi makanya menulis kalau pasienlah yang meminta? 
Atau, jangan-jangan aman yang berarti saran operasinya sudah disetujui pasien (sekaligus keluarga) tanpa adanya paksaan? 
Ah, teuing. Saya nggak paham maksudnya. Reka-rekaan ini hanya hidup dalam kepala saja. 
Sempat terpikir sih untuk ketemu dokter DP lagi. Pengin tak tanyain tentang maksud yang sebenarnya tanpa menerka nerka. Siapa tahu kan, beliau bakal bilang "Nggak operasi juga ndak apa-apa kok. Aman. Sehat. Nggak berbahaya." Hemmm tapi ini sudah telanjur suruh menghadap Mbak A. Kata Buibu BPJS, Mbak A sedang menghubungi dokter DP. Jadi, sambil memikirkan semua itu, kami melangkah ke Poli THT.

Berhadapan dengan Mbak A, saya kembali ditanya apakah kami yang meminta operasi? Apakah benar kalau dokter DP menyarankan untuk operasi. Mendengar pertanyaan itu lagi dan reka-rekaan di kepala, maka emosi saya meninggi. Duh, PMS emang suka lebay deh. 
"Gini ya Mbak. Pasien mana tahu sih Mbak, apakah kita harus operasi atau nggak. Kami tahu harus operasi ya dari dokter. Kalau nggak disarankan operasi, mana kami tahu ... " Saya terus aja bicara, mengenai penyakit suami, bagaimana dialog dokter DP pas menawari kami operasi, bagaimana dokter-dokter lain menyarankan kami operasi, dan kenyataan bahwa sebenarnya kalau nggak perlu operasi kami malah happy. 

Yes, saya seperti sedang ngoceh sama tumpukan file-file di meja bagian pendaftaran. Sebab, Mbak A, orang yang sedang saya ajak bicara itu nggak memperhatikan sama sekali. Dia sibuk menulis sesuatu yang sesekali diselingi mimik bingung sehingga membuatnya harus bertanya ke teman sampingnya. Meski saya merasa dicuekin, tapi saya tetep berterima kasih kepada dia karena bersedia membantu melancarkan urusan kami. Setelah selesai menulis, dia menyerahkan sebuah rujukan yang saya respon dengan kalimat "Tapi ini nggak akan menimbulkan masalah kan Mbak?" Saya khawatir kalau dia belum sempat telepon dokter DP. 

Tapi Mbak A tersenyum, dan menjelaskan bahwa surat tersebutlah yang diperlukan untuk bisa diACC oleh BPJS. Oh? Artinya saya harus sangat berterima kasih sama Mbak A. Tanpa coret-coretan dia, barangkali BPJS tidak mau mengklaim biaya berobat suami, atau parahnya lagi adalah kami ditolak dokter di RS Pusat. 

Berbekal surat dari Mbak A yang disetujui pihak BPJS itu, keesokan harinya, Selasa, 7 April 2015,  kami berangkat ke RS Pusat Jogja. 

Seperti yang sudah-sudah, kami masuk ke loket BPJS kemudian diserahkan ke bagian pendaftaran di Poli THT. Alurnya sama. Sampai kemudian nama suami dipanggil oleh dokter laki-laki di kamar 3. Dalam hati, saya berteriak girang karena dokter ini sepertinya udah cukup usia. Setelah berhadapan langsung, dia bertanya tentang tujuan kami berobat. Kami pun menjelaskan bahwa kami hanya dirujuk ke RS Pusat oleh dr. DP. 
"Apa keluhannya?"
"Pendengaran berkurang dan gatal"
"Lah itu masih bisa mendengar" Hah? Kami harus jawab apa coba. Pertanyaan ngeselin. Masa iya, tanpa memeriksa dan baca rekam medis, seorang dokter bertanya seperti itu. Harus ya kita jawab: Oh, lah gimana sih dokter DP itu. Masa kita masih bisa mendengar sampai harus operasi. Cari tahu dong Dok, kenapa kami dirujuk. Atau minimal baca rekam medisnya. Kan, kami sudah bilang kalau ini bukan pertama kali periksa. 
"Gini ya Dok. Maaf loh. Saya minta ditangani dokter yang kemarin deh. Masa iya, kami harus menjelaskan dari awal lagi. Kalau sama dokter yang kemarin, kan dia sudah tahu" Jawab suami saya sedikit kesal. 
"Oh, oke Pak. Soalnya di sini nggak ada statusnya. Kemarin sama siapa?" Dokter tersebut bertanya dengan ekspresi yang kasihan. Sebelum akhirnya kami dipersilakan untuk duduk kembali di kursi tunggu, kami menjelaskan bahwa dokternya hari ini berkerudung hijau kembang-kembang. (yang kemudian kami tahu, bahwa dia bernama dokter Ag)

Menunggu cukup lama, baterai handphone suami habis. Sebel rasanya karena dia itu tipe powerbank banget. Nempel terus ama handphone. Sampai-sampai, saya disuruh nunggu panggilan, sementara dia mencari terminal buat mencarger. Bete banget rasanya karena ketika dipanggil dokter, saya harus teriak memanggil suami saya. Apalagi, berkas suami sempat masuk ke kamar 1 dan kami dipanggil untuk diperiksa. Pas kami masuk, ada suster yang berbisik bahwa kami maunya diperiksa dokter Ag. Maka kami disuruh menunggu dulu. 

Penantian yang cukup panjang, karena ternyata dokter Ag sibuk banget. Dengan sabar kami menunggu, (meskipun sesekali ketika lewat di depan kami, dokter Ag menyapa untuk bersabar "Bentar ya") sampai akhirnya dipanggil lagi. 

Nggak ada masalah dengan pemeriksaan dokter Ag. Statusnya masih sama. Menyarankan untuk operasi karena diduga ada kolesteatumnya. Kemudian datang dokter Su. Dokter laki-laki ini berperawakan tinggi, cakep dan mirip artis FTV. Beneran deh. Sayangnya ngomongnya ceplas ceplos dan tegas. 

Pas dia masuk, dokter Ag berkonsultasi sebentar. Agaknya, dokter Su ini cukup senior dari dokter Ag. Telinga suami saya juga sempat dicek oleh dr Su, yang kemudian diikuti oleh adik-adik magang setelah diberi kode. Saya lihat adik-adik itu untuk menyalakan alatnya saja kesulitan. Pantes aja suami bilang kalau meriksanya kasar. Mungkin belum lihai. 

Setelah memeriksa, dia juga melihat hasil foto x-ray telinga suami. Dia kemudian menjelaskan bahwa sekalipun dioperasi tambal gendang telinga, itu tidak menjamin pendengaran suami saya kembali normal. Kalau kembali normal, itu hanya bonus katanya. Manfaat dari tambal gendang telinga adalah untuk menghindari infeksi berlanjut. Maka saya pun iseng bertanya : Bagaimana dengan sel kulit mati yang memakan tulang itu?

"Kolesteatum? Kalau ada kolesteatumnya, nanti nggak cuma tambal gendang telinga. Tapi juga harus dibor dari belakang dan bla bla bla" Rasanya saya sudah tidak mampu mendengar penjelasan dokter lagi setelah mendengar kata dibor. Mata saya hanya bisa melihat bagaimana ekspresi si dokter yang tengah menjelaskan sambil menunjukan lokasi yang akan dioperasi. Busyet, istilah bangunan sampai juga di kamar periksa dokter. Duh mengerikan sekali nggak sih kepala dibor?

Ketika tersadar, saya menangkap mimik keraguan dari dr Su mengenai adanya kolesteatum dari hasil ronsen yang tengah dipegangnya. Berkali-kali dia menunjuk bagian yang dicurigai sebagai kolesteatum tapi aneh katanya. Sebagai solusi, suami diminta untuk melakukan ronsen ulang di rumah sakit tersebut. 

Setelah selesai menjelaskan, kami dipersilakan duduk kembali di ruang tunggu karena berkasnya akan diurus untuk ronsen ulang. 

Keluar dari ruangan, tawa saya meledak yang disusul oleh suami. Entah kenapa saya justru melakukan itu. Kami membahas istilah dibor yang terkesan sangat mengerikan justru dengan cekikikan. Kami maklum sekali kalau sebenarnya ada istilah yang jauh lebih bagus dari istilah tersebut. Dokternya pasti kepleset. Atau, sebenarnya kami tertawa supaya kesan horornya luntur. Meskipun ternyata enggak. Istilah itu tetep mengerikan. Saking mencoloknya tingkah kami, dokter Ag yang keluar dari ruangan menepuk punggung saya "Udah, nggak usah takut ..." katanya lembut seperti guru TK yang menyemangati anak didiknya. 

Setelah beberapa menit, kami kembali masuk ke ruangan. Kami diberi rujukan untuk ke bagian Radiologi. Setelah hasilnya keluar, besoknya kami disuruh menghadap lagi. Waktu menjelaskan, dokter Su kembali menyebut istilah bor dalam penjelasannya. Tidak sekali, tapi berkali-kali tanpa ekspresi bercanda. Bagaimana bercanda kalau dia sedang begitu sibuk dan tidak konsentrasi menjelaskan karena banyak ditanya dokter lain. Bahkan ketika saya tanya, berapa lama harus menginap dan pemulihan pasca operasi, saya harus mengulanginya beberapa kali. Kamprett. 

Tapi sebenarnya, dokter ganteng ini baik juga kok. Dia mengurus semua apa yang kami butuhkan. Istilah-istilahnya saja yang sedikit menyentil nalar kami. Dibor. Kepala dibor. Huffft. 

Teror kepala dibor tersebut ternyata terus menghantui psikologis suami sampai kami pulang. Saya maklum betul, bagaimana dia ketakutan karena istilah tersebut. Padahal kami nggak ngeyel, tapi kenapa sih harus dikasih istilah yang menakutkan? Bagaimana seorang dokter bisa tahu, bahwa kami siap mendengar istilah itu? Luput luput. 

Pulang dari RS, kami bercerita dengan seorang teman tentang istilah bor tersebut. Melihat ekspresi saya yang ketakutan, saya maklum sekali bahwa mereka sedang mencari cara untuk menenangkan saya. 
"Koe ki diguyoni dokter Tik (Kamu itu dibecandai dokter Tik). Dulu, adikku juga dibilang begitu waktu sakit kangker 'habis kemo nanti botak lho mbak' gitu bilangnya. Jadi nggak usah takut. Biasa, itu cuma ledekan"

"Hah ledekan? Kalau botak menurutku nggak begitu ngeri deh Mas. Tapi kalau otak njeblok dan kepala dibor, itu sama sekali nggak lucu. Justru mengerikan tahu. Istilah pertukangan kok dibawa-bawa di dunia medis" Jawab saya. Lah bener kan? Kenapa ledekan bisa begitu menyedihkan karena efeknya jadi takut. Gila.

"Eh, zaman dahulu, alat-alat dokter memang meyerupai alat pertukangan loh. Ada catut, gunting, palu dan lain-lain. Sekarang aja bentuknya diperhalus dengan istilah yang berbeda. Dulu, namanya operasi saja pasiennya harus diikat supaya tahan sakit. Makanya, keren banget ya penemu obat bius itu" jawab yang lain. 

Dari situ saya mikir, pasti alat yang mau buat mengoperasi suami saya bentuknya memang kayak bor. Saking nggak konsentrasinya, si dokter tidak menemukan istilah yang lebih halus. Jadi, apa yang terbayang di kepala, langsung diucapkan. Hemmm. 

Keesokan harinya, pada hari Rabu, kami rontsen ulang. Hasilnya baru jadi pada hari Kamis dan langsung kami bawa ke Poli THT. 

Pas ditanya, kemarin periksa di kamar berapa, kami menjawab di nomor 3, dan dokter Ag. Kami menegaskan bahwa ingin diperiksa oleh dokter Ag. 

Setelah menunggu laamaaaaaa sekali, akhirnya kami dipanggil di ruang 1 oleh dokter BR. Agak sebel sih, kenapa bukan dokter Ag. Dan kenapa pula harus pakai ditanya kemarin diperiksa di kamar berapa. Tapi ketika melihat cara dokter BR bicara dan bertanya, kami leleh. 

Dokter BR mencoba mengakrabkan diri dengan berbicara dalam bahasa Jawa. Pokoknya seperti sedang ngobrol sama temen. Asyik banget cara menjelaskannya. Sehingga kami lebih rileks dan tidak takut untuk bertanya. Dia juga bukan tipe dokter pemalas yang nggak mau membaca rekam medis terlebih dahulu. Dari banyak obrolan, ada ilmu baru yang saya terima bahwa ketika telinga kita diberi obat tetes, seharusnya ada rasa pahit yang dirasakan pas menelan ludah. Rasa pahit itu karena ada rongga penghubung antara teelinga dan tenggorokan. Tanpa rasa pahit, kemungkinan rongga tersebut bermasalah. Dan, suami saya nggak merasakan pahit sama sekali. Jadi analisis buruk apa lagi ini? Ya Tuhan. 

Keluar dari hadapan dokter BR, kami digiring untuk bertemu dengan dokter Su. Dia meminta hasil rontsen kami. Setelah dilihat beberapa detik, dia menjelaskan bahwa akan segera diurus jadwal tambal gendang telinganya. Saya kemudian penasaran. Dari hasil ronsent yang baru kelihatan nggak sih ada kolesteatumnya. 

"Nggak ada. Kemarin hasil ronsennya kan kurang jelas. Ini nggak ada kok" Kata dokter Su yang kemudian saya respon dengan ucapan syukur. Alhamdulillah. 

Seneng rasanya suami terhindar dari pengeboran. Sampai kemudian, kami diminta bertemu dengan dokter yang akan mengoperasi tanggal 4 Mei 2015. 

Dokter yang akan mengoperasi itu cantik, putih, dan lembut banget. Beberapa kali, beliau menjelaskan dengan bahasa Jawa, setelah tahu kami tinggal di Bantul. Melihat wajahnya yang sudah berusia, saya yakin sekali kalau beliau dokter senior. 

Kemudian dokter tersebut melihat ke dalam telinga suami, dan meminta dia mengembuskan napas dengan hidung ditutup. Ekspresi dokter tersebut langsung berubah. Buru-buru dia melihat hasil ronsen dan audiometri. Setelah selesai mengamati, beliau menjelaskan banyak hal: tentang hasil audiometri (yang sebelumnya nggak dijelaskan oleh dokter lain), seberapa persen suami saya bisa mendengar, hasil ronsent yang terbaca bahwa tulang-tulang telinga suami saya sudah keropos, kemudian dia juga menanyakan pahit tidaknya obat tetes yang tempo hari dipakai suami. Mendengar jawaban bahwa suami saya tidak merasakan pahir sama sekali. Dokter tersebut semakin yakin bahwa ada masalah baru yang menghubungkan telinga dengan kerongkongan. 

"Kemungkinan rongganya buntu. Jadi meskipun ditambal, suatu hari bisa saja rusak lagi karena kesedot. Bla bla bla..." Intinya, kalau mau aman, suami harus dioperasi lanjut untuk membersihkan sumbatan tersebut. Saya menduga-duga, kebuntuan tersebut jangan-jangan karena ada kolesteatumnya? Loh. 

"Jadi nanti sebelah sini akan dibuka (bersamaan dengan kata dibuka, dokter Su yang mendampingi dokter cantik tersebut mengatakan istilah dibor ) lalu dibersihkan"

Nah, bener kan. Pasti ada istilah lebih halus selain istilah dibor. Seperti dokter senior itu, yang mengganti istilah dibor menjadi dibuka. Wong intinya ya sama to. Pasien mana ngerti sih, apa yang dilakukan dokter di ruang operasi. Itu dapurmu, Dok. Kami tahunya cuma operasi. Beres. Kata operasi saja serem, ngapain harus ditambah dengan istilah pertukangan. 

Supaya kami ada bayangan? Oh, terima kasih banget kalau begitu. Bayangan mengerikan tersebut, kini melekat erat di kepala kami Dok. Di bayangan kami. Di otak kami. 

Setelah obrolan dengan dokter cantik tersebut, kami diberi jadwal operasi pada tanggal 4 Mei. Dokter Su dengan detail menjelaskan bahwa seminggu sebelum itu harus ada cek darah dan ronsen dada lalu kembali konsultasi ke poli. Beberapa hari sebelum operasi, kami juga diminta untuk rawat inap. Meski soal bor itu membebani pikiran, tapi kami cukup terbantu dengan tindakan dokter Su yang sigap mengurus berkas persiapan suami saya untuk operasi. Tanpa beliau, pastilah kami juga kesulitan. Pokoke thanks Dok. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk