Skip to main content

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja. 

Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT. 

Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya. 

Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toilet begituan. Sialnya, kenapa sih saya pakai lupa bawa tisu sendiri. Beneran jadi gatel-gatel deh ni area terlarang. 

Keluar dari toilet saya berdoa semoga nggak kebelet lagi sampai hajat berobat selesai. Kejadian itu saya ceritakan juga ke suami. Tapi dia nggak merespon. Dia asyik ngegame dan membuat saya khawatir kalau-kalau namanya sudah dipanggil tapi tidak tahu. Karena penasaran, dengan pedenya, saya bertanya ke bagian administrasi perihal apakah nama Fairuzul Mumtaz sudah siap dipanggil?
"Fairuzul Mumtaz ya, bentar ..." kata bapak petugas sambil membolak balik berkas rekam medis pasien (kali) "Wah, diketik aja belum Mbak. Mending tunggu di luar, karena bakal lebih kedengeran". Owalah. Ternyata kami terburu-buru masuk poli. Harusnya masih di luar, dan mengikuti alur pemanggilan. 

Menunggu cukup lama di luar poli, akhirnya nama suami dipanggil untuk masuk antrean selanjutnya. Sambil menunggu di kursi tunggu, saya memperhatikan ruangan yang berjajar di hadapan kami. Ruangan paling ujung tertulis sebagai THT Umum, kemudian sebelahnya (yang saya tafsir) sebagai ruang pemeriksaan khusus, kemudian lebih khusus lagi, dan seterusnya. 

Dari kursi tunggu itu, kami bisa melihat aktivitas pasien dan dokter di dalam ruangan karena pintunya terbuka. Nggak ada privasinya sama sekali. Kok enakkan di RS semula ya, kata hati saya. Bahkan, dalam ruang periksa juga nggak cuma satu pasien yang masuk, tapi lebih dari itu dengan dokter yang banyak. Yes banyak. Dokternya tampak masih muda-muda sekali. Saya cuma mbatin, mungkin dokter koas atau masih residen. Lah dokter kok keluar masuk bergilir hanya untuk menangani satu pasien. 

Lucunya lagi, terkadang dokter-dokter tersebut tampak kebingungan mencari pasiennya yang hilang. Mereka membawa berkas ke luar ruangan sambil memanggil manggil nama pasiennya. Tidak itu saja, tapi mereka juga nggak sungkan untuk menjelaskan sesuatu ke pasiennya dengan cukup di kursi tunggu atau berdiri di pinggir ruangan. Sebenarnya ini pemandangan yang wajar nggak sih? Saya kok jadi kebayang-bayang film Korea yang berjudul Emergency Couple. Pemandangan yang saya lihat mirip di film tersebut. Bedanya, cuma ini di Poli THT dan film Korea itu ceritanya di ruang UGD. Kalau di UGD dokternya banyak terus pakai lari-larian sih menurut saya wajar ya. Namanya saja gawat darurat. Tapi saya waktu itu di Poli THT loh. Melihat dokter lari-larian keluar masuk dengan tergesa, dan obrolan serius mereka terbaca dari mimik wajah itu duh sebagai orang awam, aura ketegangan pun jadi mengalir ke dalam darah. Wajar nggak sih pemandangan seperti itu? Jangan-jangan cuma saya yang berlebihan.

Memperhatikan kejadian-kejadian di depan mata membuat waktu tunggu jadi terasa singkat. Nama suami saya akhirnya dipanggil juga. 

Kami masuk ke ruangan ke tiga setelah THT Umum dan kamar entah. Dia ditangani oleh dr. perempuan cantik yang mengenakan kerudung pink. Masih terlihat muda juga sih. Serius, saya nggak melihat satu pun dokter tua di sana. 

Setelah duduk, kemudian suami menjelaskan tentang gendang telinganya yang sudah bolong karena hobi pakai cotton bud, tentang hobi renangnya yang padahal seharusnya nggak boleh kemasukan air, tentang rujukan dr DP untuk melakukan audiometri di RS pusat ini, dan terakhir dia menunjukan hasil ronsen telinga yang sudah dilakukan di rumah sakit awal. 

Dokter tersebut kemudian memperhatikan hasil ronsen yang kami bawa. Namun, belum juga sempat menjelaskan apa-apa ke kami, dokter yang lain keburu nyerobot ingin melihat juga, kemudiann dokter yang lainnya lagi, terus saja begitu sambil mengucapkan istilah-istilah medis. Rasanya saya pengin teriak "Woiiii kami di sini woiii. Kami bukan patung. Plis katakan sesuatu." Huffft. Akhirnya saya nggak tahan untuk bertanya tentang istilah istilah tersebut. Kalau nggak salah inget, dokter menjelaskan bahwa kerusakan telinga suami saya sudah sampai ke pengapuran tulang. Terus dr. perempuan berkerudung tersebut memeriksa ke dalam telinga suami pakai alat yang pernah saya lihat di rumah sakit awal kami periksa. "Iya, sudah bolong. Lecet-lecet juga" Seperti yang sudah saya duga, pemeriksaan tersebut pun digilir dari dokter satu ke dokter satunya lagi dengan gumaman ya sama "Iya kan?" kata dokter pertama. Asem, dijadikan studi kasus beneran nih sama dokter dokter muda. 

Sebenernya saya kasihan sama suami sih, tapi kalau setiap pasien nggak terima dijadikan objek pembelajaran, terus bagaimana kelangsungan masa depan dokter THT untuk menggantikan dokter-dokter senior? Ah, saya kemudian menebus rasa kasihan tersebut dengan menenangkan suami yang mulai resah dengan kelakuan dokter menggilir pemeriksaan "Nggak papa Mas. Lebih banyak yang meriksa, siapa tahu analisisnya lebih tepat" suami saya pun diam. Saya tahu betul, dia sudah merasa tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi? 

Suami kemudian diperiksa dengan alat berbahan besi yang dipukulkan ke tulang lalu didengarkan di belakang telinga. 
"Kalau terdengar bunyinya angkat tangan. Tapi kalau sudah nggak, turunkan" perintah dokter. Sebenarnya dokternya ramah, dan enak buat ngobrol. Tapi kalau waktunya digilir, duh beneraan deh itu memang nggak nyaman banget. Kesannya masalah kami sangat parah. Namun selintas juga merasa kalau kok dokternya kayak nggak yakin meriksa ya. Apalagi setelah pemeriksaan selesai, tiba-tiba ada dokter yang tadi meriksa kembali memeriksa pakai alat untuk melihat ke dalam telinga suami saya. Agaknya dia lupa kalau sudah meriksa sebelum ini. "Memang kasusnya apa sih" Hah, kok tanya lagi? Lalu dokter perempuan di hadapan kami menjelaskan ke dokter tersebut yang direspon dengan "Eh iya nih kayaknya titttttt (istilah itu lagi)"

Belum sembuh dengan ketidaknyamanan tersebut, di belakang kami terdengar suara dari dokter laki-laki muda yang berkulit gelap dengan rambut njabrik. "Sudah dijelaskan dokter DP belum kalau akan operasi? Soalnya bla bla bla" Dia menjelaskan tentang pengapuran tulang, gendang telinga bolong, sampai dengan cairan telinga yang masih ada. 
"Loh, sudah nggak keluar cairannya kok Dok. Itu sudah lama sekali" kata suami.
"Iya memang nggak keluar. Tapi masih aktif di dalam" Oh jadi begitu. Kami akhirnya mengaku kalau dokter DP juga mewacanakan tentang adanya kemungkinan untuk operasi. Yes kemungkinan. Bukan kepastian. Bahkan dokter DP menjelaskannya juga pakai gaya yang nyantai abis. Nggak bikin dada kami deg-degan. 

Kemudian setelah ngebrel ngebrel itu, kami ditinggal begitu saja tanpa satu dokter pun di dalam ruangan. Sekian menit berlalu, kami saling memandang sampai akhirnya memutuskan untuk menunggu di kursi luar. "Biarin Dek, biar kita juga dicari-cari dokter hi hi hi" Tiba-tiba kami geli membayangkan wajah dokter yang akan kebingungan karena kami hilang. Di jeda tunggu itu, suami juga menyempatkan diri buat ke toilet. 

Menunggu cukup lama, akhirnya dokter berkerudung pink tadi menghampiri tempat duduk kami. Dia bilang untuk sabar menunggu karena akan dilakukan tindakan audiometri. Lalu dia pergi lagi.

Karena bosan kami pun jalan-jalan ke depan ruangan-ruangan lain, sampai akhirnya dihentikan oleh dokter laki laki muda yang berkulit hitam dan rambut njabrik di depan ruang audiometri. 
"Bentar ya Mas, ditunggu dulu. Oh iya, nanti kami juga tidak hanya akan melakukan audiometri, tapi juga mengambil cairan telinga masnya untuk dibawa ke laboratorium. Cairan tersebut bakalan diteliti, supaya kita juga tahu harus memberi antibiotik yang tepat. Ya, walaupun dr DP nggak ngasih rujukan buat neliti cairan tersebut, tapi bakalan tetep kami lakukan. Tapi kami cek dulu ya apakah lab-nya antre atau nggak, soalnya cuma buka sampai jam dua siang" Mendengar cerocosan si dokter, kami cuma mengangguk angguk. Kemudian dokter berkerudung kami datang mendekat dan ikut mendengarkan. 

"Ini juga kan telinga masnya udah bolong dan ternyata ada kulit-kulit mati (eh kedengerannya sih kulit mati) yang menumpuk di belakang telinga titttt (lupa telinga mana). Kulit-kulit itu kan banyak bakterinya jadi dia mampu merusak tulang telinga masnya. Nah, tulang telinga kan dekat sekali dengan tulang tengkorak. Bla bla bla. Kalau tulang tengkoraknya rusak nanti otaknya bisa njeblok " Hah njeblok? Kedengerannya memang kata njeblok, tapi kami paham, maksudnya adalah dia khawatir kalau otaknya keluar. Eh, itu kalimat ngeri banget nggak sih? Apa dia belum tamat belajar menjaga psikologis pasien ya? Jadi penasaran. Sebenarnya kalau ngobrolnya sama saya saja nggak apa-apa. Wong ya itu pelajaran penting yang bagus banget untuk pengetahuan kami. Tapi dia enteng ngomong begitu di hadapan suami yang notabene sebagai pasiennya loh. Catat! Di depan pasien. Padahal waktu itu kami lagi deg-degan denger keharusannya untuk operasi.  Gimana coba kalau suami saya langsung drop karena ditakuti-takuti begitu. 

"Makanya masnya itu harus operasi. Nanti saya kasih obat dulu buat observasi. Ada obat tetesnya juga" Hah obat tetes? Saya jadi inget kejadian Mama yang dimarahi dokter spesialis THT karena ceroboh menerima anjuran dokter sebelumnya dengan memberi telinga Adik yang sakit dengan obat tetes. Kata Mama, obat tetes itu nggak boleh dipakai. 

Dengan mendengar obat tetes lagi, kepercayaan saya jadi ambruk pada dokter yang lagi ngomong di hadapan kami. 

"Tapi kemarin saya dikasih obat sama dr. DP" kata suami "Obat apa Dek?" suami bertanya pada saya. Karena lupa namanya, saya pun menunjukan obat tersebut yang direspon oleh dokter njabrik dan dokter berkerudung pink dengan gumaman "Oh Rhinofed" mereka bergumam hampir bersamaan.

"Terus itu Kalium obatnya siapa?" Anjrit, awas banget nih matanya dokter njabrik. Karena tas saya terbuka, terlihatlah obat-obat yang saya bawa. Kalium itu obat saya sendiri karena kebetulan telinga saya sedang bermasalah (baca duh gendang telinga saya pecah)
"Itu obat saya Mas" jawab saya kepada dokter njabrik tadi sampai kesleo manggil dia Mas. Pikiran saya kemudian geli membayangkan kalau dokter itu mbatin dalam hati, loh sepasang suami istri masalahnya telinga semua? 
"Oh jadi cuma Rhenofed. Ini juga kan nggak langsung operasi besok. Tapi, masih harus menentukan jadwal operasi yang bisa makan waktu lama. Jadi biar nanti diresepin obat aja ya" Kami cuma manut, sampai akhirnya kami bertanya apakah ada waktu untuk makan dulu setelah audiometri? Dokter menjawab supaya jangan keluar rumah sakit dulu karena mau dibawa ke laboratorium. Ya udah deh, akhirnya kami hanya pasrah dengan bekal yang sudah tidak cukup lagi untuk mengganjal perut. 
"Siap siap ya Mas, harus konsentrasi pas di dalam ruang audiometri. Jangan terpengaruh suara dari luar. Dengarkan bunyi ketukan (kalau nggak salah denger memang dia bilang ketukan), kalau bunyinya terdengar angkat tangan. Kalau bunyi di kiri, angkat tangan kiri pun sebaliknya." Oh jadi ini yang dimaksud dokter DP untuk membawa bekal yang cukup supaya nggak kelaparan dan tetep konsentrasi mengikuti tes audiometri. Woalah. 

Setelah penjelasan itu, suami dibawa masuk ke ruang audiometri. 

Kira-kira 15 menit, dia keluar dengan keluhan "Ih ruangannya dingin banget" Kemudian dia cerita mengenai aktivitas yang baru saja dilakukannya di dalam.
"Berarti itu subjektif banget ya Mas. Kalau kita nggak denger trus tetep mengangkat tangan ya bakalan hasilnya nggak valid"
"Iya"

Karena nunggu hasil audiometri yang cukup lama, saya jadi kebelet buang air kecil lagi. Duh, jijik! Tapi mau bagaimana lagi, akhirnya saya izin ke suami. 

Setelah balik dari toilet, suami sudah berada di luar ruang Poli THT. Loh, berarti hasilnya udah diterima, batin saya. "Gimana Mas?"
"Ya udah"
"Hasilnya udah?"
"Udah ni di tas" jawab dia enteng tanpa penjelasan lain.
"Jadi dibawa ke laboratorium?"
"Nggak tahu" Loh?
"Nggak tanya?"
"Nggak" Loh?
"Dikasih obat nggak?"
"Nggak" Loh Mas Mas, piye to iki? Pasti nggak kritis deh, batin saya sambil menyesali kenapa harus meninggalkan dia sendirian dan pergi ke toilet segala. Jadi ketinggalan momen debat kusir kan. Soalnya menghadapi dokter, suster, sampai urusan administrasi, suami itu suka bingungan dan nggak mau banyak tanya. Jadilah urusan beginian, saya lebih jago dari dia.
"Lah terus gimana?" (Nah kan, akhirnya malah saya yang banyak tanya ke suami. Salahnya sendiri sih nggak tahu apa-apa tapi nggak mau tanya)
"Ya udah gini aja Dik, disuruh kembali ke dokter DP lagi. Katanya mereka sudah memenuhi rujukan yang diminta. Jadi dokter DP yang berhak menangani Mas selanjutnya"
Hemmm, ya bener sih. Itu wewenang dokter DP di rumah sakit sebelumnya. Tapi ngapain juga tadi dokter njabrik itu menjelaskan segala rupa sampai tes laborat dan resep obat segala? 

Akhirnya kami pulang, dengan kegelian yang nggak ilang ilang. Hasil audimetri tersebut keesokan harinya kami serahkan ke dr DP. 

Dalam pertemuan itu, dokter DP menjelaskan kalau Alhamdulillah belum ada saraf yang rusak. Tapi dari hasil ronsen, tulang telinga suami saya sudah rusak. Tindakan yang disarankan memang operasi yang nggak sederhana katanya. "Trus sekarang maunya gimana?" kata dokter DP. Loh? Jelas aja kami bingung ditanya seperti itu. 
"Maksudnya?"
"Ya maunya gimana? Mau pendengarannya pulih atau gimana?"
Suami akhirnya menjawab "Ya jelas pengin pulih lah Dok" yang kemudian disambut dengan penjelasan bahwa hal tersebut mustahil terjadi. Pendengaran yang sudah terganggu kemungkinan nggak bisa sembuh total. Kalau pun dioperasi, itu hanya menutup gendang telinga supaya nggak basah kalau kena air. Tapi, tambalan itu juga sangat mungkin lepas kembali kalau tidak hati-hati menjaga dan merawat. Karena dokter seperti ragu-ragu untuk mengharuskan suami saya operaasi, jadi saya gemes buat tanya "Kalau nggak dioperasi, aman nggak Dok, soalnya kata dokter RS Pusat ada sel kulit mati yang menggerogoti tulang"

"Lah, ya iya. Makanya, kalau begitu dioperasi saja" Heh?
Saya dan suami saling memandang ragu. 

Beberapa detik kemudian, akhirnya kami sepakat dirujuk kembali ke RS Pusat buat operasi. Karena kedua telinga suami harus dioperasi, dokter pun menjelaskan kalau bakal dioperasi satu-satu dulu. 
"Sekalian aja kenapa Dok?" Tanya suami.
Ekspresi si dokter sangat lucu ketika menjelaskan kalau operasi sekalian itu berbahaya. 
"Lah gimana? Masa dua-duanya. Repot loh perawatan pasca operasinya" Kata si dokter kemudian. Kami cuma bengong. "Ini, saya kasih obat tetes ya"
"Eh Dok, saya pernah denger kalau obat tetes telinga nggak boleh dipakai. Bener nggak sih Dok?" Saya bertanya penasaran.
"Asal dipantau dokter ya nggak masalah dong?" Jawabnya lirih sambil menulis resep di secarik kertas khusus.

Dari situ saya mikir, ah pasti dokter lebih pengalaman dari pengalaman Mama dong. Pasti aman. Ilmu kan berkembang. Kali aja dulu nggak boleh tapi ternyata sekarang boleh. 

Karena tetep penasaran, sesampainya di rumah, saya browsing tentang obat tetes tersebut. Namanya Tarivid. Menurut beberapa sumber, obat tersebut katanya merupakan obat tetes yang paling aman dan baik untuk telinga. Saya cek harganya 90-an. Oh pantesan. 

Jadi, akhirnya saya nggak ragu-ragu untuk membantu suami meneteskan obat tersebut sebanyak 5 tetes dalam 2 kali sehari. 

Bismillah, semoga operasi suami saya lancar ya. 

(Temen-temen juga bisa baca awal mula sakit telinga suami saya di hobi bersihkan telinga ternyata berbahaya)

*Cerita ini saya tulis murni tanpa tendensi mencemarkan nama baik beberapa pihak, tapi tak lain hanyalah untuk pengalaman saja. 

Comments

  1. Saya kurang tahu apakah perlu dokter menjelaskan seseram itu. mbak. Tapi makasih ya udah sharing pengalamannya. Duh, saya sering bersihin telinga, nih. Kayaknya kebiasaan itu harus mulai dikurangi...

    Mudah2n mbak dan suami diberikan kesembuhan. Semoga operasinya lancar, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Makasih ya Mbak buat doanya. Iya, saran saya sih hati-hati kalau sering membersihkan. Sayang kan kalau rusak cuma gara-gara hal sepele. :)

      Delete
  2. Saya juga pernah mengalami kejadian yg tidak mengenakkan waktu mau operasi caesar. Bukannya menenangkan malah membuat saya makin gemetaran. Dan saking takutnya, waktu operasi berlangsung tekanan darah saya ngedrop dan kata dokter bisa membahayakan saya. Tapi alhamdullah semua selamat.

    Sebagai dokter harusnya lebih halus cara penyampaiannya ya mbak, biar ndak membuat pasien ketakutan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak. Saya tu tipe yang nggak suka banget sama dokter yang kasar oral (apalagi kalau pakai jutek). Makanya saya suka penasaran wong emang nggak tahu tentang etika dokter yang bener itu seperti apa. Jadi ya banyak komplen hehehe.

      Delete
  3. semoga lekas sembuh suaminya, suami saya hobby banget ngorek kuping...harus saya ingatkan berarti...

    ReplyDelete
  4. *manggut2 baca runutannya...
    Tapi kudunya bilang aja mb kalo nggak nyaman...
    Aku juga bolak balik dokter kalo aku ada hal g sreg pasti komplenan...saking seringnya ke rs dan dokter
    Semoga operasinya lancar dan cepet sehat, telinga mba juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Makasih doanya Mbak. Penginnya sih komplen, tapi kami kan cuma merasa tidak nyaman. Nggak tahu bener2 apakah sebenernya prosedurnya memang harus begitu. Kalau udah tepat prosedur, kami komplen kan malah jadi ribet hehehe. Cuma pas kalimat 'kasar' itu kami melongo. Kalut, jadi nggak kepikiran komplen hahaha

      Delete
  5. semoga operasinya lancar ya, amin

    ReplyDelete
  6. semoga lancar operasinya ya mak.. btw bahaya bgt trnyata ya bersihin telinga..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Makasih ya Mak doanya. Mungkin butuh diralat. Mbersihin telinga nggak bahaya kok, asalkan caranya tepat. Hehehe. Misal ke dokter atau pakai alat yang aman. :)

      Delete
  7. Hhhm... Sebagai mantan ko-as, aku memaklumi para dokter2 muda itu.. Hihihi.. Kadang memang untuk nunjukin klo suatu hal itu serius dengan bahasa yang awal, suka bikin spt hal2 yang di atas.. :D
    Semoga operasinya berjalan lancar yaaa.. :) :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya kami nggak masalah banget sih kalau dokter mengatakan kebenaran yang kami hadapi dan beberapa kemungkinan buruk selama itu dg bahasa yang nggak terlalu lugas untuk kondisi yg memang sebenarnya bisa disampaikan dengan cara yang baik.

      Thanks ya Mak, buat doanya.

      Delete
  8. saya jadi inget kasus ibu saya yang dulu sering korek kuping... jadinya infeksi berujung kr kanker dan diperiksa banyak dokter juga, dioperasi 3x yang ngoperasi beda beda dokter karena dokter yang pertama pas cuti. habis dioperasi dibestral 25x . ups maaf jadi share http://moocensusan.blogspot.com/2013/03/kanker-telinga-membersihkantelinga.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya udah baca, ngeri ya Mak. Semoga Ibu di sana tenang dan damai. Amin.

      Delete
  9. Suamiku hobi banget bersihin telinga pake cotton bud. hiks, hiks...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau nggak keseringan nggak papa kali ya. Eh tapi nggak tahu ding. Saya juga belum tahu secara pasti, cara yang aman buat membersihkan telinga itu seperti apa

      Delete
  10. Moga lancar mak, makasih sudah berbagi, jadi tahu kalo bahaya kebiasaan membersihkan telinga ya mak

    ReplyDelete
  11. Mudah2an Allah memberi kesembuhan buat mbak dan suami, aamiin.

    ReplyDelete
  12. wahhh, jadi koreksi nih buat saya, kebetulan saya juga kuliah di kedokteran Mbak...
    Semoga operasi Mas-nya lancar ya Mbak :D

    ReplyDelete
  13. Ngeri amat jelasinnya. Otaknya njeblok *__*

    ReplyDelete
  14. Jadi inget dokter yg menangani teman saya, advicenya keras juga kalau teman saya harus operasi. Semoga dgn jadi pasien yg kritis, sama sama bisa saling belajar ya mak. Dan semoga operasinya lancar :)Tfs salam kenal :)

    ReplyDelete
  15. Saya juga pernah ketemu dokter yang ngasih penjelasannya model kayak gitu. Bikin gundah banget, apalagi di kemudian hari ternyata omongan dia gak terbukti. Gak mau lagi balik ke situ mending nyari dokter lain. Semoga lekas pulih lagi ya, gangguan telingnya :)

    ReplyDelete
  16. Tengkyu buat semua doanya teman-teman (maaf nggak bisa bales satu satu). Semoga kalian juga diberi sehat selalu ya. Amin.

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk