Skip to main content

Suatu hari yang 'ehem'

Pukul empat sore, suamiku mengabari akan terlambat pulang kerja. Aku keberatan, tapi tidak sampai hati terucapkan. 



Aku tak boleh egois dengan memaksanya cepat pulang. Meski rindu membuncah. Ya, selalu ada rindu yang terlalu terburu-buru setiap kali akan berpisah. Besok ia akan keluar kota selama lima hari. Tidak bisakah pulang lebih cepat, supaya ada waktu lebih panjang untuk bersama-sama? 
“Banyak yang harus dipersiapkan untuk besok di sini, Dik. Maaf,” katanya.

Lalu komputer kumatikan, aku keluar kantor tanpa semangat. Jarum speedometer Casimira menunjuk titik merah. Casimira—motorku—mungkin akan kehabisan bensin di jalan. Ah, malas sekali rasanya berhenti di pom. Maka kunaiki saja Casimira. 

Sepanjang jalan perasaanku tidak keruan. Aku ingin menyusul suamiku ke kantornya. Barangkali nanti akan ada makan malam romantis di sana? Siapa tahu, kan? Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. 

Tiga lampu merah sudah kulalui. Sial, gara-gara melamun Casimira mengendalikan tubuhnya ke jalan pulang. 
“Hei! Aku mau ke Alun-alun. Bukan pulang” kataku. 
“Ingatlah pada odol, sikat gigi, dan sabun. Ingat tidak?”Apa-apaan sih, aku mau ketemu suamiku masa harus membawa odol dan kawan-kawannya? Casimira gila.
“Aku tidak gila” sentaknya. Tiba-tiba gas yang kupegang menggetak. Ah, kenapa sih Casimira suka sekali ngajak ribut di jalan? Padahal kan ini berbahaya? Oke sebenarnya ada apa? Tentang odol, sikat gigi, sabun, suamiku, O-M-A-I-G-O-T iyaaaaa Casimira benar. Aku harus membeli sekawanan itu untuk keberangkatan suamiku ke luar kota.

Aku menepuk-nepuk kepala Casimira. 
***

Lima kilometer sebelum sampai ke rumahku, kami berbelok ke Superindo. Kalau tidak ada makan malam yang romantis di luar, baiklah akan kubuatkan makanan kesukaan suamiku. Setidaknya harus ada menu spesial untuk makan malam dan sarapan besok pagi (Spesial di sini adalah kalau bukan telur, tempe atau tahu ). Bukankah ia akan bepergian jauh? Kata orang, masakan dan wangi tubuhku yang akan membuat seorang suami tidak lupa untuk kembali pulang. Jadi, aku harus mandi juga ya? 

“Ya-iyalah.” Ada suara sinis dari arah parkiran. Pasti Casimira yang menjawab suara hatiku. Dasar mesin yang terlalu responsif.

Aku mengambil keranjang di dekat pintu masuk Superindo. Sebenarnya terlalu besar keranjang yang kuambil jika mengingat belanjaan yang tidak akan terlalu banyak. 

Odol, sikat gigi, sabun cair mini sudah bergabung dengan cumi dan daging ayam. Aku menuju kasir dengan bahagia. Belanja maghrib-maghrib memang ada untungnya karena tidak perlu antre untuk membayar barang yang hanya segelintir ini. Setelah menyebut nominal yang harus kubayar, si Mbak Kasir menyobek kertas struk dari mesinnya. 
“Terima kasih” katanya sambil menyerahkan struk dan uang kembalian. 

Lalu belanjaanku?

Sedetik, dua detik, tiga detik. Lho kok malah mbaknya sibuk dengan struk ATM sih? Aku dicuekin begini? Oke, mungkin memang harus kuambil sendiri aja kali ya belanjaannya? Lagian udah di depan mataku juga. 
“Ya iyalah” aku merinding mendengar suara Casimira tiba-tiba bergema lagi di telingaku. Ketika menuju pintu keluar, aku berbalik arah karena ingat ada yang tertinggal. Suamiku suka sekali Pocari Sweat jika dalam perjalanan. Tadi aku lupa membelinya. Jadilah sekarang aku mondar mandir menelusuri rak-rak dan lemari dingin.

Tidak ketemu. 

Tidak ada atau memang tidak ketemu entahlah, yang jelas aku keluar Superindo tanpa membawa barang yang kumaksud. Memangnya ada apa sih produk Pocari Sweat dengan Superindo? Mungkinkah ada politik dagang? Yaelah, sok nebak aja nih. Tapi iya, kenapa displaynya buruk sehingga konsumen kesulitan begini untuk membeli?

Aku berjalan ke parkiran dan menemui Casimira dengan kondisi mengenaskan. Itu menurutku karena kedua kaca spionnya tidak beraturan. 

Kami yang kelelahan akhirnya bersorak senang saat pulang. Di jalan, sering sekali kami menepi tiba-tiba. Mataku ini memang cukup menyusahkan jika malam-malam mengendarai Casimira. Orang lewat bisa tidak terlihat dan membuat Casimira mendadak berhenti. Belum lagi, jalanan yang sepi dan gelap harus kami tempuh di bulak sawah. Rumahku memang jauh dari jalan raya. Kalau tidak dipaksa berani, malas sekali rasanya melewati jalan bulak sawah yang terkenal horor itu. Seorang pria pernah mati terbunuh di sana. Penyebabnya adalah cinta segitiga. Lalu orang-orang kampung mengabarkan bahwa ia menjelma jadi hantu dan suka ikut naik motor ke pengendara yang melintas sendirian.

Membayangkan itu, bulu kudukku meremang. Seorang anak kecil mengagetkanku di lampu merah. Pakaiannya dekil dan kulitnya hitam legam. Ia meletakkan amplop di kepala Casimira. Di sana tertulis pesan bahwa ia meminta sumbangan untuk biaya sekolah. 

Kasihan sekali mereka. Kenapa di jam belajar begini mereka tidak di rumah? Apakah mereka nakal? Ataukah terpaksa harus mencari uang? 

Aku teringat spanduk-spanduk yang di keluarkan pemerintah. 
“Membantu mereka tidak sama dengan memberi uang” begitu katanya. Tapi kenapa tidak ada penertiban di lampu merah ini? Mungkinkah solusi yang ditawarkan pemerintah tidak berhasil? Dan mereka memilih untuk tetap turun ke jalanan.

Anak kecil tadi mengambil amplop yang belum sempat kuisi uang. Aku terlalu banyak menimbang-nimbang. Lampu merah telah menyala. 
“Memangnya, kaupikir uang seribumu cukup untuk membantu mereka sekolah” Casimira tiba-tiba bersuara. 
“Seribu dariku, kali sekian orang perlampu merah kan banyak”
“Iya banyak. Kalau semua orang mengingat-ingat spanduk pemerintah sepertimu, memangnya kira-kira berapa yang akan mereka dapatkan?” Suara Casimira meninggi dan membuat jalannya tersendat-sendat.
“Udahlah, Kas. Sekarang aku memang tidak bisa melakukan yang lebih dari sekadar memberi uang. Tidak bisa membantunya sekolah. Tapi yang kulakukan adalah memberi yang mereka inginkan. Barangkali mereka butuhkan. Lagian kasihan loh. Malam-malam begini masih di jalanan, emangnya di mana orangtua mereka? Pastilah mereka tak seberuntung kita yang diperhatikan dan bisa main game atau nonton tivi ketika malas belajar.” 

Casimira diam. Obrolan tidak jelas ini membuat kami kaget karena sekarang telah sampai di halaman rumah tanpa merasa takut di bulak sawah. 
***

Kayu sepanjang satu setengah meter bersandar di pagar rumahku. Suamiku beli kayu begini buat apa memangnya? Kok nggak cerita? 
“Kayu apa? Mas nggak tahu” jawab suamiku saat kukonfirmasi. “Udah biarin aja, paling ada orang yang naruh” lanjutnya. 

Dipikir-pikir aneh. Aku dan suamiku memang jarang di rumah, tapi apakah sopan membuka pagar rumah orang tanpa permisi? Akibatnya kami jadi saling tuduh ketika ada bilah bambu tergeletak di bawah kran halaman depan garasi. Kami diamkan bambu itu berhari-hari lalu ajaibnya bertambah jadi dua potong. Plis, jangan berpikir ini mistis. Karena nggak mungkin kan, hantu bisa menaruh piring di bawah kran air. Oke, mungkin ada hantu begitu. Tapi aku nggak mau dengar cerita tentang hantu di rumahku. Dan sekarang ada kayu sepanjang satu setengah meter, mana hantunya? Mana kamu yang mau cerita hantu? Biar kupukul? Welah. Anarkis. 

Akhirnya aku bisa merebahkan tubuh di atas kasur. Casimira juga sudah manis di garasi bersiap tidur. Aku mengganti pakaian panjangku dengan baju tidur. Belanjaan tadi kubuka, berniat untuk memisahkan cumi dengan odol dan kawanannya? 



Tapi apaaaan???


Kemana perginya odol dan kawan-kawannnya? Ya ampun, apakah cumi mati juga butuh odol sehingga dia memakannnya sampai habis? Oke fokus. Ini Cuma imajinasi yang berlebihan. 

Aku menarik napas panjang. Meneliti keresek belanjaan yang kupikir mungkin sobek. Tapi ini tidak masuk akal. Seumur-umur, kejadian kresek sobek adalah kalau belanja di warung sayur. Karena mereka biasanya memberikan kresek bekas, bukan baru seperti di Superindo. Kalau tidak sobek lalu kemana perginya mereka?

Tiba-tiba aku mengingat Mbak Kasir yang tadi berlagak sibuk dengan struk ATM. Tidak mungkinlah lauk pauk begini dicampur barang kimia. Pasti dipisah dan ini sih tertinggal. 


Astaga, berarti aku harus balik mengambilnya dengan seluruh kelelahan ini. Melewati bulak sawah yang horor. Membangunkan Casimira yang pasti bakal lebih cerewet di sepanjang jalan? 


Dadaku jadi panas. Aku ingin teriak supaya Casimira langsung bangun. Tapi ternyata Casimira tidak berkata sedikitpun saat aku bilang akan mengambil belanjaan yang tertinggal. 

Aku tahu dia marah. 

Mesin kesayanganku ini ternyata bertukar peran dari Kasim jadi Mira. Si Mira ini memang perempuan yang suka ngambekan. Baiklah, kuterima saja. Baik Casimira. 

Napasku terengah-engah karena merasakan dada yang terbakar. Di jalan Casimira melaju pelan. Pelan sekali. Memang menjengkelkan ketika hanya untuk barang yang tak lebih dari dua puluh ribu ini kami harus menebusnya dengan begini. Tapi sayangnya duapuluh ribu itu besar untuk dompetku yang tipis. 

Kalau saja barang yang tertinggal itu nilai rupiahnya banyak, pastilah kami akan merasa wajib ain untuk mengambilnya. Tidak pakai menggerutu. Melainkan dengan kecemasan yang besar kalau-kalau barang itu hilang. Atau ada yang mengakui sebagai miliknya sebelum kami datang. 



Dan sekarang kami menempuh bulak sawah demi barang yang harganya tidak membuat kami cemas. Melainkan jengkel. Mungkinkah karena harganya murah jadi Mbak Kasir itu sengaja membuatku meningggalkan odol dan kawan-kawannya.

Astaga benarkah seburuk itu? Ia ingin menguntit belanjaaan murah karena itu tidak membuat seseorang ingin menuntutnya ke penjara. Memang berapa gaji kasir sehingga ia perlu melakukan hal tidak terpuji begitu? Semoga bukan karena kemiskinan dan orangtuanya yang sakit. Ya ampun, aku mikirin apa sih? Pasti otakku ini sudah konslet jadi berpikir seburuk ini. Pekerjaan kasir itu mulia, kenapa aku bisa begini, Tuhan?

Emosiku benar-benar menguasai. Sepanjang jalan, aku sudah merancang ‘dampratan’ yang sadis karena telah membuatku balik sejauh ini. Tapi siapa yang salah? Aku dicuekin sebelum selesai dilayani. Aku mengambil belanjaanku sendiri tanpa permisi. Kenapa Mbak Kasir itu memperlakukanku seperti tadi? Mengabaikanku. Membuatku meningggalkan satu belanjaan.

Arggghhhh. Casimira melambat. Astagaa dia benar-benar marah dan aku tidak berani berlagak cerewet.


Aku kembali meninggalkan dia di parkiran. 


Dadaku masih terasa terbakar ketika melewati pintu masuk Superindo. Antrean panjang membuatku ciut untuk terlihat aneh oleh banyak orang. 

Dengan sopan, akhirnya aku berkata “Mbak apa ada belanjaan yang tertinggal ya tadi” kataku. Mbak Kasir tadi melihatku dengan curiga “Oke, tadi belanjaan saya, sabun dll tertinggal” lanjutku meyakinkan. 
“Oiya, Mbak. Maaf ya. Tadi saya susul di parkiran tapi Mbaknya udah pergi” jawabnya, entah kenapa dia memasang tampang ketakutan. Apa aura marahku bocor? “Mbaknya tadi yang boncengan yah?” lanjutnya. 
“Nggak. Aku sendirian kok” Maksudku, aku memang sendirian karena mesin bernama Casimira tidak bisa disebut manusia. Lagian penting yah, tanya-tanya aku pergi sama siapa?
“Ya iyalah. Itu buat meyakinkanmu bahwa ia serius mengejar sampai parkiran” Ternyata sekarang aku sudah di hadapan Casimira yang tiba-tiba jadi sinis begini. 

Aku tidak membahas lagi soal Mbak Kasir tadi dengan Casimira. Dia tetap berjalan pelan. Anak kecil di lampu merah sekarang membawa kardus keliling setelah seorang pria berhenti bernyanyi. 

Uang seribuan kuambil dari dompet. Anak kecil tadi menyodorkan kardus ke orang-orang, tapi tidak bermaksud menghampiriku. Ia melihatku sekilas dengan bahasa tubuh “Ah, orang kayak kamu mana mau ngasih sih”. Astaga. Perlu ya milih-milih? Lalu ia berjalan mendekati mobil samping Casimira. Mendadak Casimira jadi tersendat-sendat gasnya. Pasti deh ia sedang menahan tertawa karena aku diperlakukan seperti ini. Namun, anak kecil tadi malah jadi melihat kami. Ya, ia melihat uang yang sedang kupegang lalu menghampiri kami. 
“Hahaha amal kok jadi nggak ikhlas” kata Casimira akhirnya. 

Aku diam menahan jengkel. Casimira masih berjalan pelan dan membuatku kehilangaan kesabaran. 

Sampai di bulak sawah, seharusnya tidak apa-apa kalau mesin satu ini berjaalan pelan. Tidak apa-apa pelan asal tidak mati di tengah jalan. Sialan, bensin Casimira habisss. Ia diam. Ia tidak berjalan. 

Ini siapa yang salah? Kenapa aku jadi melulu sial begini. Aku harus mencari kambing hitam. Mencari siapa yang salah. Aku nggak mau mengakui kalau aku salah. Nggak mau! [] 08 Oktober 2013

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk